“Rumah Tanpa Atap” dan “Jangan Sampai Aku Mengatakan Hal Itu”
Kejadiannya adalah ketika dosen makul Perilaku Komunikasi Normal II meminta kami untuk menuliskan segala sesuatu yang ada dalam pikiran dan memori kami agar dapat mengetahui sejauh mana perolehan bahasa yang kami dapatkan selama ini. Aku duduk tepat di sebelah Dini, salah satu temen kuliahku. Awalnya aku pengin nulisk tentang persahabatanku, tapi aku mengurungkan niat dan meminta kertas yang baru pada Dini untuk mengganti tulisan yang telah aku buat. Akhirnya aku menuliskan sesuatu yang sedang aku rasakan. Aku sudah pernah mengatakan hal itu sebelumnya pada Dini dan keliatannya dia punya kisah yang nggak jauh beda sama aku.
Aku nggak sanggup untuk menulis semuanya karena aku sibuk menahan air mata dan menahan hidungku yang mulai tersumbat. Berkali-kali aku terisak sambil ku teruskan menulis. Sampai akhirnya Dini menoleh ke arahku. Dia memperhatikanku dan terus melihatku. Aku menutup hidung dan mulutku agar tidak terlihat menangis, tapi dia tidak segera mengalihkan pandangannya dariku. Tidak lama kemudian dia memberikanku sebungkus tissue. Kami sibuk melanjutkan tulisan masing-masing dan parahnya penyakit cengengku kumat tidak tepat waktu dan tempat. Aku hanya bisa sesenggukan.
Di akhir tulisanku, aku sempat melirik kea rah kertas yang sedang ditulis oleh Dini. Aku sedikit membaca tulisannya. “Aku selalu berdoa untuk Ayah…” bla bla bla. Dan aku langsung tau kalau sebenernya dari tadi dia juga nahan tangis. Setidaknya dia jauh lebih kuat daripada aku. Tapi begitu aku melihatnya menulis judul aku langsung tegur dia. Aku bilang dia nggak boleh kaya gitu. Aku tau apa yang dia rasakan tapi bagaimana pun kata-kata itu jangan sampai terucap atau tertulis.
Untuk Dini, aku tau benar rasanya karena aku juga sama sekali nggak beda sama kamu. Aku juga ngalamin hal itu. Rasanya emang nyesek banget ketika ngeliat kenyataan yang ada bahwa sosok yang harusnya bisa ngayomin dan melindungi kita, tidak pernah menunjukkan sikap yang memang kita harapkan ada. Nggak ada kasih sayang yang dia tunjukkin, nggak ada keinginan untuk merangkul, memeluk, mencium kening kita, bilang sayang, bilang kalo dia beruntung punya kita, bilang kalo kita sudah cukup bisa membuatnya bangga meskipun hanya untuk memantapkan hati kita. Meskipun hal-hal tadi nggak pernah dia lakui, yang harus kita lakuin adalah tetap percaya bahwa di tempat yang tersembunyi dan paling tidak terlihat sekali pun, rasa sayang, bangga, ingin melindungi dan memberikan yang terbaik untuk kita pasti selalu ada dalam hatinya.
Aku tidak pernah tau Din, gimana hubungan kamu dengan dia selama ini. Tapi kalau aku Din, yang aku inginkan dari dia adalah hanya memelukku, mengecup keningku dan berkata bahwa aku berharga untuknya. Hanya itu. Sesederhana itu tapi aku tidak pernah dapatkan itu. - lagi-lagi aku nangis- sorry aku emang nggak bisa sekuat kamu Din, kamu hebat J bangganya punya temen kaya kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar