Jumat, 05 April 2013

I wanna hate you, but my heart says not


Bolehkah aku katakan bahwa aku membencimu, bahkan sejak pertama kali Tuhan perkenalkan aku denganmu dari sisi kejauhan tanpa aku tau siapa dan seperti apa dirimu. Bisa jadi aku sangat egois, tapi itu yang aku rasakan. Apakah kau berpikir tentang hal yang negative atas pengakuanku tadi? Jika iya, dengarkan penjelasanku lebih lanjut. Aku memang membencimu. Rasa benci yang semakin bertambah ketika Tuhan berbaik hati mempertemukan kita dalam banyak kebetulan, kebetulan yang selalu terjadi hingga aku pandai merangkai cerita yang saling berhubungan dan terkait, tentang aku dan kamu. Semula semua terlihat kabur, tapi akal sehatku memperjelas semuanya. Tentang kamu.

Aku benci mata kamu, sinar mata kamu. Yang begitu dalam, manis dan memikat, sehingga aku bisa menjadi sangat bodoh karena instruksi otak agar mataku berpaling sangat sulit aku laksanakan. Mata yang selalu bisa membuatku kehilangan saat sinarnya meredup, membuatku ikut berpikir dan tidak jarang berakhir khawatir. Mata yang sangat sulit untuk dilupakan meski aku tidak pernah memandang lebih dari lima detik, karena aku menyadari betul dimana titik lemahku saat sinar mata kamu masuk lalu tanpa permisi mengobrak-abrik sistem pertahananku. Dan yang aku benci adalah ketika mata itu selalu hadir, bukan untuk orang yang memang benar-benar berarti dan memiliki tempat di hatimu, yang sering kulihat adalah kamu selalu memandang mata wanita yang ada di sekitarmu dengan sinar yang sama. Tidak berarti semua wanita, tapi wanita yang memang menurutmu bisa untuk kau masuki. Sampai pada akhirnya aku begitu mengerti hanya kamulah satu-satunya yang memiliki mata yang kilat kecoklatannya selalu terpancar. Yang selalu aku benci hanya untuk mengakui bahwa mata kamu punya adalah yang selalu aku rindukan. Aku benci akan kenyataan itu. Mata itu telah ada yang memiliki. Dan itu bukan aku.

Aku benci senyum manja kamu. Yang begitu legit dan manis, sehingga membuatku sulit bernafas. Yang mengembang tanpa henti, membujukku ikut tersenyum saat kamu ada di sekelilingku. Yang selalu membuat lelucon garing dan pada akhirnya aku harus berpura-pura tertawa menahan rasa kesal melihat senyum yang menawan itu. Bagiku senyum itu lebih dari sekedar penyemangat. Senyum yang selalu mengembang dan beralih kepadaku saat kau melihat wajahku yang memucat. Senyum yang bisa kapan saja temnggelam dan membuatku hampir kehabisan akal yang pada akhirnya membuatku memilih untuk diam karena sangat merasa kehilangan binar cahaya senyuman yang berkesan untukku. Meskipun aku tau kalau aku bukan satu-satunya orang yang beruntung mendpatkan senyuman itu. Lagi-lagi aku tidak akan pernah kehilangan alasan untuk membencimu, termasuk senyummu itu.

Aku benci sikap manismu. Aku sangat membencinya. Itu lebih dari sekedar menyiksaku. Aku bukan tipikal perempuan yang mudah dirayu dengan sikap atau bahkan sekedar dekat dengan laki-laki. Tapi pada akhirnya aku menyadari bahwa ini adalah sepenuhnya kamu, bukan kamu yang dibuat-buat. Bukan orang yang dengan mudah mengubah sikapnya di depan lawan bicaramu.

Terima kasih sudah berkenan menjadi orang yang aku benci. Semoga rasa benci ini dapat mengikis rasa yang entah aku tidak bisa klasifikasikan sebagai apa. Semoga aku bisa memperjelas sikapku sendiri dan tidak terus-menerus membencimu dan menyalahkanmu. Karena membencimu hanyalah pengalokasian perasaan yang sama sekali tidak aku mengerti. Maafkan aku, yang harus membencimu sebagai alasan penghindaran atas perasaan lembut bernama…yeah maybe you can call it love. But I just know and so much understand that you love your girl deeply. Semoga kamu selalu bahagia dengannya, dan selalu saling merindukan satu sama lain. Semoga Tuhan berbaik hati mempertemukan aku hati yang lebih tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar